Cerita Romantis " Kau Pemilik Modal "
Aku Tukiem, ini adalah sedikit banyak cerita mengenai usia remaja, masa SMA. Masa yang katanya menyenangkan, masa yang katanya banyak kenangan. Mungkin saja " Iya ".
Blora, saat dimana Gunung Mundri belum eksis. Saat itu adalah masa Aku masih SMA. Masa dimana Gunung Mundri belum eksis. Belum menjadi objek wisata seperti sekarang ini. Di SMA, terus terang Aku adalah termasuk dalam golongan elit. Status sosial ku berada beberapa tombak lebih di atas teman-temanku. Bahkan Aku mampu membuat semua cowok sungkan mendekatiku. Meski begitu, sebenarnya Aku adalah orang yang pencilakan di lingkungan yang memang menjadi habitatku. Aku sudah berusaha membuat semua bersikap biasa padaku. Tapi mereka masih saja tetap merasa sungkan.
"Sepertinya akhir-akhir ini aku mendengar desas-desus. Kalau ada seorang cowok yang sedang mendidik i Mu, lho...". Kata Sariem teman dari Tukiem.
" Ciyeelahhh !".
" Uhukk, uhukk! ".
" Apa sihh! Ga jelas banget!".
" Tapi, kurasa Tukiem. Kamu tuh ga cocok sama dia. Soal nya dia itu berasal dari manusia yang memiliki status sosial yang jauh di bawah kita-kita ini ". Kata Sri.
Kemudian mereka berempat tertawa Sri, Sariem, Manis, dan Tukiem.
Blora, saat Gunung Mundri belum eksis. Mendengar perkataan teman-temanku tadi di kantin SMA. Membuat ku terngiang-ngiang. Aku penasaran siapa orang yang memiliki status sosial kelas bawah itu. Sampai berani menambatkan hatinya padaku. Kok... Sudahlah. Tapi sudah ku akui kau berani. Aku akan melihat seberapa usahamu, dan bagaimana dirimu.
Blora, saat Gunung Mundri belum eksis. Aku sungguh penasaran dengan siapa Kau sebenarnya. Ku coba mencari tau, tapi alhasilnya nihil. Hingga pada suatu ketika.
" Halo, Aku Sugiyo. Aku akan berusaha memantaskan diri. Mengejarmu dan kelas status sosialmu. Doakan ". Kata Sugiyo saat tanpa sengaja bertemu dengan Tukiem. Saat Gunung Mundri belum eksis.
" .... ". Tukiem hanya diam sambil memandangi starter pack yang dipakai oleh Sugiyo.
Aku makin kebingungan, dan makin penasaran, Dengan sosok Sugiyo. Dia tidak berusaha mendekatiku dulu. Dia seolah-olah tanpa ada apa-apa langsung menamparku. Aku amat penasaran. Kelas sosialku yang tinggi sedang dalam taruhan. Sugiyo hanyalah buruh, yang tenaganya harus diperas untuk melayani kaum-kaum pemilik modal seperti Aku dan teman-temanku.
Justru kali ini, bukan kau yang sungkan tapi malah Aku yang sungkan betul melihat usahamu. Sugiyo. Mungkin Aku akan menimbang usahamu.
Blora, saat Gunung Mundri belum eksis. Tukiem memakai starter pack merah menyala. Mencerahkan hari Sugiyo yang lelah dengan hari nya sebagai siswa dan pekerja.
Sugiyo pagi itu bertemu di pasar rakyat. Dia sedang memanggul sebakul buah. Mungkin karena ini minggu, jadi dia bisa mengisi waktunya dengan bekerja. Beberapa hari setelah pertemuan itu.
" Ahoyy, Tukiem apa kabarmu ? Sudah lama tak berjumpa, apak kabar semuanya? Ku harap baik-baik saja ". Ucap Sugiyo dari telepon umum.
Saat Gunung Mundri belum eksis.
Cerita Romantis ini tak akan seromantis yang kau bayangkan. Starter pack ku dan sugiyo jauh berbeda. Aku berada, Sugiyo apa adanya. Sugiyo sangat sederhana.
Saat Gunung Mundri belum eksis. Di tempat lain, Sugiyo sedang asyik berjudi ria menaruh harap pada tumpukan kartu, dengan harapan takdir langit berbaik hati menuangkan keberuntungan kepadanya. Dihari baik bulan baik, ternyata Sugiyo sedang bernasib baik. Sugiyo memenangkan perjudian itu. Ya namanya juga manusia surga bagimu pasti bisa jadi neraka buat orang lain nya.
Ditengah keberuntungan Sugiyo itu, ada salah seorang manusia tak terima. Langsung saja Pria itu melyangkan pukulan pada Sugiyo. Sejurus kemudia perkelahian tak terelakan. Berlatar belakang berkelas sosial bawah, berantem adalah hal sehari-hari bagi Sugiyo. Demi mendapatkan tambatan hati, Sugiyo berupaya keras memantaskan diri dan menaikan status sosial. Dengan bermacam cara dari kerja hingga berjudi.
Saat Gunung Mundri belum eksis. Malam berdengung sunyi. Jangkrik sesekali berbisik keras. Burung hantu berpuisi menyanyikan lagu rindu. Tukiem sedang termangu di kamar menyelonjorkan kakinya. Tangannya memegang coklat panas." Sugiyo, akankah kau terus memperbaiki diri? Dan memantaskan diri ?". Tanya hatiku pada pikiranku.
" Sepertinya Aku harus persetan sebentar dengan kelas sosial ku. Sugiyo keadaanmu sangat menyedihkan bahkan seakan malaikat maut tak tega mencabut nyawamu. Sedangkan Aku hidup dengan penuh kemewahan. Akankah takdir langit merestui cerita romantis ini ". Tulis Tukiem dalam buku kesayangannya.
Saat Gunung Mundri belum eksis. " Tukiem, nanti malam ke Warung Mbah Jan bisa?". Tanya Sugiyo.
Selang beberapa waktu sekira tiga ratus tombak. Ajakan Sugiyo ditolak. " Tukiem, Aku tidak akan menyerah. ". Ucap Sugiyo. Tak jarang Sugiyo kerap mengirim surat kepada Tukiem. Maklum saat Gunung Mundri belum eksis. Belum ada yang namanya whatsapp, facebook, instagram, BBM, SMS, dll. " Permintaan. Kekasih, permintaanku hanya satu. Bisa selalu dekat dengamu. Tak berjarak walau serambutpun. Bersama berguna bagi sesama. Dalam cinta ". Demikian isi satu-satunya surat dari Sugiyo yang dibalas Tukiem dengan surat yang berisi " Permintaanmu bodoh! Goblok! Tolol! hal paling mendasar yang harus dilakukan manusia agar dapat terus hidup adalah mendapatkan sarana untuk tetap bertahan hidup.Apapun yang bisa menghasilkan pangan, sandang, dan papan bagi mereka, serta untuk memenuhi kebutuhan dasar ".
Sebagai perempuan aku mengakui, menyukai sesuatu yang mewah dan gemerlap. Cinta berbeda kelas dan status sosial memang sedikit banyak rumitnya.
" Tukiem. Manusia bermiliar-miliar, cuma kamu yang bikin aku ambyar. Jika kau memang untuku beda kasta tak akan jadi dilema ".
Komentar
Posting Komentar